Wonder Nusantara , Magetan — Di balik megahnya tarian Reog Ponorogo yang sering kita saksikan di panggung-panggung budaya, ada tangan-tangan terampil yang menghadirkan kemegahan tersebut dalam wujud topeng dan perlengkapan khasnya. Salah satunya adalah Pak Prapto, seorang perajin Reog asal Desa Kauman, Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan. Selama lebih dari 25 tahun, Pak Prapto telah mendedikasikan hidupnya untuk membuat perangkat Reog, dari kepala Dadak Merak hingga topeng Bujang Ganong.
Pembuatan satu set Reog tidaklah sederhana. Untuk satu kepala Dadak Merak, waktu pengerjaan bisa memakan waktu sekitar 1 hingga 1,5 bulan, tergantung tingkat kerumitan dan detail yang diinginkan pemesan. Proses ini mencakup:
Pembuatan rangka: Menggunakan bahan dasar bambu atau kayu ringan, rangka dibentuk melengkung menyerupai kipas besar. Bambu dipilih karena ringan namun kuat untuk menopang bulu merak dan ornamen lainnya.
Pemasangan bulu merak: Ini adalah bagian paling menantang. Dibutuhkan ratusan bulu merak asli yang disusun simetris agar tampak megah. Proses ini memakan waktu hingga 2 minggu sendiri, karena harus rapi dan seimbang agar saat dipakai tidak miring atau goyah.
Penempelan ornamen singa barong: Kepala singa atau barongan dibuat dari kayu pilihan dan dilapisi bulu serta ornamen seperti taring, lidah, dan cat berwarna emas atau perak.
Pengecekan keseimbangan: Setelah semua elemen terpasang, Pak Prapto akan menguji kekuatan dan keseimbangan kepala Reog untuk memastikan aman digunakan oleh penari.
Pak Prapto bukan hanya pengrajin, tetapi juga penjaga warisan budaya. Ia belajar langsung dari ayahnya yang juga seorang pembuat Reog sejak era 1970-an. Kini, ia meneruskan tradisi tersebut dengan semangat melestarikan budaya lokal. “Bagi saya, Reog bukan sekadar kesenian, tapi juga jati diri,” ujarnya.
Ia juga sering mendapat pesanan dari luar kota bahkan luar Jawa, seperti Kalimantan, Sumatra, hingga Malaysia. Harga satu set kepala Reog bisa mencapai Rp 15 juta hingga Rp 25 juta, tergantung bahan dan detail ornamen.
Pak Prapto berharap ada generasi muda yang mau belajar membuat Reog. “Sekarang makin sedikit yang mau belajar, padahal ini potensi budaya dan ekonomi yang besar,” katanya. Untuk itu, ia membuka bengkel kerja kecil di rumahnya sebagai tempat belajar bagi siapa saja yang tertarik.
Kerajinan Reog ala Pak Prapto tidak hanya mencerminkan keindahan seni, tapi juga ketekunan dan cinta terhadap budaya bangsa. Di tangan beliau, Reog tidak hanya hidup sebagai tontonan, tapi juga sebagai warisan yang terus bernapas dan berkembang di tengah zaman.