Wonder Nusantara, Provinsi Riau, khususnya Kota Bagansiapiapi di Kabupaten Rokan Hilir, tidak hanya dikenal sebagai Bumi Lancang Kuning, lambang kejayaan maritim dan budaya Melayu, tapi juga sebagai tempat pelestarian budaya lintas etnis yang hidup berdampingan secara harmonis. Salah satu bukti nyatanya adalah Festival Bakar Tongkang, sebuah tradisi unik komunitas Tionghoa yang sarat makna spiritual dan budaya.
Festival Bakar Tongkang atau dalam bahasa Hokkien disebut Go Gek Cap Lak (artinya: 15 bulan 6 penanggalan Imlek), merupakan ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi sejak tahun 1900-an. Tradisi ini bermula dari kisah para leluhur Tionghoa yang menetap di tanah Riau dengan meninggalkan kapal (tongkang) sebagai simbol tekad tidak akan kembali ke tanah asal mereka di Tiongkok.
Setiap tahun, mereka membakar replika kapal kayu besar sebagai bentuk persembahan kepada dewa laut dan peneguhan bahwa "tanah yang mereka pijak kini adalah tanah tumpah darah mereka."
Menariknya, simbol tongkang dalam tradisi Tionghoa memiliki kesamaan dengan lancang kuning dalam budaya Melayu Riau:
Simbol | Makna Tionghoa (Tongkang) | Makna Melayu (Lancang Kuning) |
---|---|---|
Kapal | Perjalanan dan keberanian meninggalkan masa lalu | Kekuatan maritim dan kemuliaan kerajaan |
Laut | Penghubung spiritual dan perantauan | Arah perjuangan dan wilayah kedaulatan |
Pembakaran | Penyerahan nasib pada dewa dan tekad untuk tinggal | Dalam pantun Melayu: jika nakhoda salah, kapal bisa tenggelam |
Festival Bakar Tongkang kini menjadi agenda pariwisata nasional yang dihadiri ribuan wisatawan domestik dan mancanegara, termasuk dari Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Ritual ini melibatkan:
Arak-arakan patung dewa dan tongkang keliling kota.
Prosesi ke tempat pembakaran utama di lahan luas.
Pembakaran tongkang sambil membaca arah asap—jika ke laut, pertanda baik untuk usaha perikanan; jika ke darat, pertanda baik untuk pertanian dan perdagangan.
Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Rokan Hilir mendukung penuh acara ini sebagai bagian dari strategi kebudayaan Riau yang inklusif.
Julukan “Bumi Lancang Kuning” menegaskan identitas Riau sebagai wilayah kaya sejarah, maritim, dan budaya Melayu. Namun, Festival Bakar Tongkang menunjukkan bahwa Bumi Lancang Kuning juga bersedia menjadi rumah bagi kebudayaan lain.
Perpaduan antara tradisi Melayu dan Tionghoa ini memperlihatkan bagaimana kebhinekaan budaya terajut dalam satu kapal besar bernama Riau, yang mengarungi zaman dengan tetap berpegang pada akar spiritual dan penghormatan terhadap sejarah.
Festival Bakar Tongkang bukan hanya tentang membakar kapal kayu—melainkan tentang membakar semangat kebersamaan, keberanian untuk membangun kehidupan baru, dan rasa cinta pada tanah tempat berpijak. Dalam semangat Lancang Kuning yang tak akan tenggelam, budaya Tionghoa di Bagansiapiapi